Rabu, 30 Desember 2009

Ibu-Ibu 'Sinau' Membatik


Catatan 5: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Belasan ibu-ibu PKK dengan semangat dan penuh ketekunan belajar membatik di emperan balai desa Gumelem Wetan, Selasa, 29 Desember 2009. Beberapa ibu yang lain ada di dalam balai desa untuk mengerjakan motif batiknya.

Sudah selama beberapa bulan, para ibu rumah tangga itu ‘sinau’ peninggalan tradisi yang sudah turun-temurun di desa mereka sebagai wujud pelestarian. Mulai dari cara membuat motif, menulis/membatik, sampai ‘mbabar’/mencelupkan kain yang sudah dibatik ke dalam obat kimiawi tertentu untuk pewarnaan.

Pelatihan membatik ibu-ibu di Desa Gumelem Wetan ini termasuk program pemerintah daerah, yang artinya anggarannya masuk APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Warga berharap Pemerintah Kabupaten Banjarnegara tidak menghentikan program ini, namun terus berkesinambungan demi pelestarian Batik Gumelem.

Jumpa Sosok Suryanto
Suryanto adalah sosok pemuda yang tergolong langka, khususnya di Gumelem. Tidak hanya ia seorang lelaki (karena pelaku batik didominasi kaum perempuan), namun meskipun bukan karena keturunan, Suryanto dengan penuh kesadaran mau ‘nguri-uri’ tradisi perbatikan.

Lelaki humoris ini telah menciptakan lebih dari 200 motif batik kontemporer. Dengan desain yang variatif sehingga disukai pasar. Bisa dibilang motif-motif ciptaan Suryanto menyimpang dari pakem motif batik yang sudah ada. Namun dengan penciptaan Suryanto, batik Gumelem mampu berbicara di tingkat yang lebih luas.

Gandasuli, 30 Desember 2009

Jumat, 25 Desember 2009

Kunjungan Perdana ke Gumelem


Catatan 4: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Pertama berkunjung ke Gumelem bersama Tim Riset I (Rulia dan Wiwit) pada Rabu, 23 Desember 2009. Memang daerah yang memesona, secara landscape maupun keramahan perangkat desa dan penduduknya.

Dan ternyata, jarak yang ditempuh ke Gumelem lebih dekat dari Purbalingga dibanding dari Banjarnegara kota. Artinya, saya mempunyai jarak tempuh yang lebih dekat dibanding kawan-kawan Banjarnegara yang berumah di Banjarnegara kota.

Gumelem terbagi menjadi dua desa. Desa Gumelem Kulon dan Gumelem Wetan. Ada sejarah mengapa Gumelem terpecah menjadi dua desa. Konon, Gumelem merupakan tanah Perdikan bernama Kademangan Gumelem yang mempunyai kesejarahan dengan Kerajaan Mataram. Karena terjadi krisis politik dan pemerintahan saat itu, muncul nama Kulon dan Wetan.

Seusai sowan ke Kantor Desa Gumelem Kulon, saya dan kawan-kawan mendatangi salah satu sentra batik tulis milik Mbah Sartinem. Ah, nenek itu terlihat energik dalam mengurus batik-batiknya. Ia dan suaminya menerima kami dengan segenap hati.

Datang ke kediaman Mbah Sartinem, pemandangan menarik pertama adalah ada sekitar tujuh perempuan yang usianya rata-rata Mbah Sartinem bahkan beberapa diantaranya lebih sepuh (tua) tekun membatik di sebuah bilik bambu yang dibangun tepat di depan rumah Mbah Sartinem. Mereka juga menyambut kami dengan keriangan.

Setelah berkunjung ke kediaman Mbah Sartinem, saya dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan mampir ke Balai Desa Gumelem Wetan. Sudah selama beberapa bulan, di Balai Desa Gumelem Wetan ada pelatihan membatik bagi warganya. Sayang, sesampai di balai desa, pelatihan sudah selesai karna kami datang sudah terlalu siang. Untung masih ada kesempatan melihat pelatihan di pekan depan.

Jumpa Sekda Banjarnegara
Sebelumnya, saya masih dengan Tim Riset I dan dengan pendampingan Bu Esti, kawan dari Humas Setda Banjarnegara beraudiensi dengan Sekda Pemkab Banjernegara, Bapak Syamsuddin tepat pukul 07.30 WIB waktu yang dijanjikan.

Pak Sekda menerima kami dengan senang hati dan ngobrol tentang banyak hal. Ia mempunyai harapan besar terhadap apa yang dilakukan saya dan kawan-kawan Banjarnegara soal proses pembuatan film dokumenter Gumelem ini.

Pak Sekda berjanji akan membantu dengan segenap kemampuan dan menginstruksikan kepada Humas Setda Banjarnegara melalui Ibu Esti untuk menyiapkan dan menyediakan apa-apa yang diperlukan saya dan kawan-kawan dalam prosesnya nanti.

Gandasuli, 25 Desember 2009

Senin, 21 Desember 2009

Melibatkan Pembuat Film Muda Banjarnegara


Catatan 3: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Saya sedang berproses untuk tidak egois dalam setiap produksi film saya. Pada awal-awal saya membuat film, beberapa film saya, terutama dokumenter, saya garap dengan hampir semua kemampuan saya. Soal hasil, belum tahu persis apakah film yang digarap dengan kemampuan sendiri lebih baik atau sebaliknya dengan film yang melibatkan kawan lain.

Tapi setidaknya keputusan untuk melibatkan kawan-kawan karena berbagai alasan. Soal regenerasi menjadi alasan utama. Tidak bijak rasanya bila tidak berbagi pengalaman dengan kawan-kawan. Lebih ke arah berproses bersama.

Saya sendiri bukan seorang pembuat film dokumenter handal, atau tepatnya belum handal untuk itu. Karena itulah, saya selalu tertarik untuk belajar membuatnya. Menarik lagi bila dalam belajar membuat film dokumenter bersama kawan-kawan. Dalam rencana memproduksi film dokumenter soal batik Gumelem, Banjarnegara, alangkah asyiknya bila melibatkan kawan-kawan pembuat film muda dari ‘Kota Dawet’ itu.

Seorang kawan dari Banjarnegara bertutur ada sekitar 15 komunitas film di Banjarnegara dan separo atau sekitar 7 diantaranya aktif berproduksi. Belum lagi anak muda Banjarnegara yang di perantauan yang juga turut berproses di dunia film alternatif ini.

Tidak boleh disepelekan tentunya dari sisi jumlah komunitas yang ada. Banjarnegara sendiri diantara tiga kabupaten di Banyumas Raya; Banyumas, Purbalingga, dan Cilacap tergolong yang paling akhir geliat komunitas film pendeknya.

Saat ini, Banjarnegara sedang segar-segarnya berkomunitas. Karena itu mereka sedang butuh bimbingan, butuh pancingan semangat, dan sebanyak-banyaknya media untuk berapresiasi. Termasuk melibatkan kawan-kawan Banjarnegara dalam hal produksi film agar tidak merasa tertinggal dengan tiga kabupaten tetangganya.

Benar adanya, kawan-kawan Banjarnegara merespon dengan luar biasa, setelah saya melemparkan rencana pembuatan film dokumenter tentang tradisi batik di salah satu desa di kabupaten itu.

Saya sendiri menjadi semakin tertantang dan mendapatkan suntikan semangat karena salah satu tujuan utama berproduksi di Banjarnegara adalah keterlibatan kawan-kawan lokal untuk bersama-sama berproses. Dengan harapan, setelah proses ini, kawan-kawan tidak berhenti tapi mampu berproses sendiri secara lebih mandiri.

Gandasuli, 21 Desember 2009

Minggu, 13 Desember 2009

Bertemu Kenalan Lama


Catatan 2: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Beberapa waktu lalu, seorang kenalan lama bersua di dunia maya. Dia menyapa karena ada sedikit urusan terkait riset yang sedang dilakukannya. Kenalan lama saya itu bertanya apakah saya masih berkontak dengan narasumber film dokumenter batik Banyumasan yang pernah saya buat.

Rupanya dia sedikit kecewa, karena narasumber yang dimaksud sudah meninggal beberapa waktu silam. Sayang sekali memang, karena narasumber itu, yang juga seorang profesor dari Universitas Soedirman Purwokerto, boleh dibilang satu-satunya narasumber penting yang mampu menjelaskan dengan gamblang soal batik Banyumasan. Dan beruntung saya telah mendokumenterkannya di tahun 2006.

Esti nama kenalan lama saya itu. Dia sekarang bekerja di Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sudah menjadi pegawai negeri rupanya. Saat saya berkenalan, di tahun 2006, dia masih bekerja sebagai seorang wartawati di Harian Radar Banyumas. Saat itu, dia meliput ketika saya syuting film pendek fiksi berjudul “Senyum Lasminah”.

Sekali Merengkuh Dayung
Saat ini, Esti sedang melakukan riset soal batik Gumelem, Banjarnegara, salah satu sentra batik yang memperkaya khasanah batik Banyumasan. Riset yang Esti lakukan untuk kebutuhan artikel bagi lembaga dimana ia sekarang bekerja. Seperti halnya para periset lain, dengan subyek yang saya anggap menarik, saya menanggapinya dengan sangat serius.

Kemudian, saya tawarkan riset itu tidak sekedar berhenti pada hasil karya tulis semata. Bila mau, mengapa tidak dibuat film dokumenternya? Sudah saya duga, bila Esti akan menjawab tak sanggup mengusahakan biaya untuk memproduksi film dokumenter. Esti juga bilang meskipun duduk di jajaran pemerintahan, namun belum tentu sanggup mengusahakannya.

Saya jadi tersenyum, film dokumenter ini dibuat bukan untuk mencari dana. Tujuannya jelas untuk pendidikan, untuk generasi penerus kelak, untuk masyarakat luas, untuk kepentingan bersama, sebagai media promosi dan kalau boleh disebut sebagai media penyelamat budaya tradisi, Banyumas pada khususnya.

Soal nanti pemerintah daerah atau pihak manapun tertarik untuk membantu, itu soal nanti. Saat ini yang penting adalah kita berkarya dulu. Tak bisa berkarya itu menunggu siapa dulu yang akan membantu. Dan Esti pun setuju.

Siapa tahu, pemerintah daerah akan membantu dikala proses produksi film dokumenter ini berjalan atau sesudah film ini jadi. Karena memang kesadaran diantara kita kerap kali terlambat atau malah kita tak punya kesadaran sama sekali. Saya hanya berpikir bahwa kreatifitas anak muda tak boleh mandek, hanya karena tak ada biaya. Meskipun bukan hal yang salah bahwa biaya adalah salah satu pilar pendukung bagi proses kreatifitas itu.

Anggap saja , lagi-lagi, ini ujian bagi kita, bagi anak muda. Dan tentu ujian bagi pemerintah daerah dan pihak lain juga. Semoga kita jangan sekedar berpangku tangan dan kaki, hanya karena menunggu siapa yang akan melakukan lebih dulu.

Gandasuli, 14 Desember 2009

Jumat, 04 Desember 2009

Mari, Mulai Menganggap Penting Riset!


Catatan 1: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Salah satu kelemahan anak muda Banyumas pada umumnya adalah mengenal dan bahkan melakukan riset/penelitian. Tidak jarang, mereka menganggap remeh itu. Riset biasanya hanya dilakukan untuk urusan sekolah/kuliah. Sisanya karena pekerjaan, yaitu anak muda yang bekerja di lembaga riset/LSM.

Tidak menjadi soal sebenarnya, sepanjang dalam riset itu dilakukan secara serius dan benar. Karena kerap riset dilakukan sekedar mencari nilai (anak sekolah/kuliahan) dan mengejar target laporan (untuk lembaga riset/LSM).

Anak kuliahan sebenarnya berada pada posisi strategis untuk urusan riset. Betapa tidak, usia mereka memasuki tahap kematangan logika, karena itu mulai mudah menangkap pemahaman dan mampu merangkai sesuatu yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di lapangan.

Setiap anak kuliahan mempunyai kewajiban melakukan riset/tugas akhir sebagai syarat mutlak kelulusan mereka. Dan tidak jarang, diantara mereka berkontak dengan saya, berbincang soal riset apa yang hendak mereka garap, atau sekedar curhat terkait riset yang sedang mereka garap. Utamanya terkait ikhwal budaya Banyumasan.

Saya selalu menanggapi serius soal ini. Mengapa? Ya karena jarangnya anak muda yang menganggap serius soal riset. Saya bermimpi, di Banyumas lahir periset-periset muda yang handal. Namun sayangnya, mimpi itu masih terasa jauh.

Saya sendiri bukan seorang periset, apalagi seorang periset yang handal. Saya juga bukan seorang ahli budaya Banyumasan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah melakukan kegiatan tersebut. Bagi saya, keahlian riset itu soal pengalaman, soal kebiasaan. Sementara teori, jelas bisa dipelajari. Ada segunung buku yang membahas soal riset. Selebihnya, bisa diunduh dengan mudah dan murah dari “Mbah Google”.

Kebutuhan Riset
Beragam latar orang melakukan riset. Seperti yang saya sebutkan diatas misalnya. Untuk itu, jangan pernah menganggap bahwa hasil riset hanya berguna sesaat, yaitu saat tujuan awal dari riset itu saja. Hasil riset jelas berguna sepanjang masa, untuk segala bidang, utamanya edukasi.

Saya sendiri sedikit banyak bersinggungan dengan urusan riset untuk kepentingan produksi film dokumenter. Tidak banyak film dokumenter yang telah saya buat. Lebih banyak ide dan rencana dokumenter apa yang ingin dan harus saya buat.

Tapi dari tidak banyak itu, saya bisa menyimpulkan betapa penting urusan riset. Karena itu, beberapa anak muda yang akan dan sedang melakukan riset, saya selalu tertarik untuk mendampingi sembari memproduksi film dokumenternya. Untuk itu, mari, mulai menganggap bahwa riset itu penting!

Kampung halaman, 26 November 2009