Rabu, 07 Juli 2010

Kado untuk Murid yang Lulus


Pagi itu wajah yang cerah terpancar dari murid-murid kelas VI SD Negeri 8 Gumelem Kecamatan Susukan Banjarnegara. Tak ayal lagi Sabtu, 21 Juni 2010 merupakan hari perpisahan kelas VI. Dari 14 murid kelas VI, empat diantaranya merupakan pembatik cilik yang menjadi subyek dalam film dokumenter “Goresan Anak-Anak Gumelem”.

Mereka adalah Desi Makhrifah, Avi Alfiah, Listiah dan Sugi. Pada hari istimewa ini film dokumenter yang disutradarai Bowo Leksono diputar di aula sederhana SD Negeri 8 Gumelem.

Antusias
Acara perpisahan dihadiri wali murid kelas I hingga kelas VI dan seluruh murid SD Negeri 8 gumelem sehingga tiga ruang kelas yang dilepas sekat dindingnya menjadi aula sederhana itu sangat padat bahkan hadirin membludak.

Walaupun suasana panas di dalam ruangan, tak menyurutkan semangat hadirin untuk mengikuti keseluruhan acara termasuk pemutaran film.

Menurut Kepala SD Negeri 8 Gumelem Subarjo Spd, pemutaran film baru pertama kali diadakan di SD tersebut. Ia merasa senang dengan hadirin yang sangat antusias menonton film apalagi beberapa siswinya menjadi tokoh utama di film tersebut.

Beberapa wali murid juga berharap pemutaran film diadakan lagi pada perpisahan tahun mendatang apalagi bintang filmnya anak Gumelem sendiri yang bersemangat membatik.

Pemilihan acara nonton film bersama menurut Tri, salah satu guru, bertujuan untuk membangkitkan semangat anak-anak Gumelem agar membatik menjadi hal yang menyenangkan. “Jika menjadi kebiasaan seperti yang dilakukan pembatik cilik dirumah masing-masing sehingga tradisi yang ada dari jaman dahulu dapat lestari,” tuturnya.

Prestasi
Angka kelulusan di SD Negeri 8 Gumelem mencapai 100 persen. Prestasi terbaik diraih oleh dua pembatik cilik Avi Alfiah sebagai siswi dengan peringkat terbaik dan Listiah menempati peringkat kedua.

Pemutaran film ini juga menjadi kado kelulusan bagi anak-anak kelas VI yang terus belajar dan berkarya sehingga membuahkan prestasi yang membanggakan, serta dijadikan contoh bagi adik kelas untuk terus menjaga warisan budaya bangsa.

Tak bisa dipungkiri bahwa film mampu berbicara lebih bahkan memberikan perubahan yang positif bagi sebuah proses pembelajaran dan pewarisan budaya. Rulia Iva

Jumat, 30 April 2010

Gumelem di Mataku (premiere)


Generasi penerus dengan beragam latar belakang, semestinya cerdik bagaimana “nguri-uri” peninggalan nenek moyang. Tentu, bila bukan generasi muda, siapa lagi? Namun justru di tangan generasi muda inilah sejatinya nasib peninggalan tradisi berada.

Anak-anak muda Banjarnegara yang dimotori pegiat perfilmannya berusaha dengan caranya dalam melestarikan budaya. Dengan mata kamera mereka menangkap realita peninggalan budaya yang tersisa.

Sudah sejak awal tahun hingga memasuki bulan April 2010, beberapa pegiat perfilman di Banjarnegara sepakat melakukan riset di Gumelem, wilayah yang masuk Kecamatan Susukan. Gumelem sendiri adalah daerah yang terbagi menjadi dua desa; yaitu Desa Gumelem Kulon dan Desa Gumelem Wetan.

Gumelem adalah daerah yang menyimpan tumpukan “harta” yang belum banyak tersentuh. Harta peninggalan nenek moyang yang masih sangat mungkin untuk digali, diangkat, dan disejajarkan di zaman modern ini.

Enam Film Dokumenter
Eksotisme Gumelem yang lebih dikenal sebagai desa batik sangat menarik untuk diangkat dalam sebuah media film. Terlebih, terkait pelestarian peninggalan budaya. Realita ini menjadi daya tarik yang kemudian diabadikan dalam film dokumenter.

Berawal dari keinginan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang kemudian mengajak serta pegiat film Banjarnegara untuk memfilmkan batik Gumelem. Hasil dari riset ada sekitar 11 tema terkait eksotisme Gumelem dengan peninggalan-peninggalan budaya dan tradisinya.

Dalam perjalannya dibuatlah program bersama pegiat film Banjarnegara yang tergabung dalam Forum Komunitas Film Banjarnegara kerja bersama CLC dengan mengajak pembuat film muda yang masih duduk di bangku SMA se-Banjarnegara. Program itu berupa produksi film bersama dari tema-tema hasil riset.

Dari 11 tema yang ada, digarap oleh 12 kelompok produksi. Hingga akhir program, terkumpul enam karya film dokumenter. Empat karya dari pelajar SMA dan dua karya pegiat film Banjarnegara lainnya. Karya-karya siap tonton itu akan diputar perdana pada Sabtu, 1 Mei 2010 di Pendapa Bupati Banjarnegara, pukul 19.00 WIB.

Film-film tersebut adalah “Mengintip Jejak Mataram” sutradara Dani Dwijaka Sudrajat produksi Jurnalistik Film Fotografi-Ekskul (JFF) SMA N 1 Sigaluh, “Pendekar Besi” sutradara Anggi Setya Prayoga produksi Pamover Production (SMK N 1 Bawang), “Kisah Keluarga Kerajaan” sutradara M. Khirul Anwar produksi Panchavieker Production (SMK N 1 Bawang), “Lengger Gumelem” sutradara Sugino produksi Komunitas Film Tamsis (SMK Tamansiswa), “Pudarnya Malam di Gumelem” sutradara Rulia Iva Dhalina produksi Baracinema Production, dan “Goresan Anak-Anak Gumelem” sutradara Bowo Leksono produksi GoldWater.

Kamis, 08 April 2010

Batik Gumelem Difilmkan



Catatan 8: Produksi Film Dokumenter Batik Gumelem

Salah satu faktor punahnya sebuah peninggalan tradisi adalah ketika tidak ada generasi yang menjadi pelestari peninggalan tradisi itu sendiri. Modernitas telah menggilas dengan tanpa ampun segala yang berbau tradisi. Butuh manusia-manusia bijak yang mampu menjembatani modernitas di satu sisi dan tradisi di sisi lain.

Batik, sebagai salah satu peninggalan budaya yang penting bagi bangsa Indonesia, telah mendapat pengakuan dunia melalui Unesco bahwa batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada 2 Oktober 2009. Apakah pengakuan dunia ini akan menjadi pemantik bagi kita untuk terus melestarikannya? Atau sebaliknya?

Seni membatik ada di hampir seluruh penjuru Nusantara. Masing-masing daerah penghasil batik tersebut memiliki kekhasannya. Tak terkecuali Banyumas, wilayah yang berada di bagian barat daya Provinsi Jawa Tengah. Konon, peninggalan batik ini merupakan peninggalan keraton. Batik adalah pakaian khas keluarga keraton.

Mengapa kemudian tradisi membatik muncul di wilayah Banyumas? Kenyataan ini karena ada keturunan atau keluarga keraton/kerajaan Mataram yang hijrah atau mengungsi akibat pertikaian hingga wilayah pesisir. Mereka kemudian menetap dan melanjutkan tradisi membatik.

Kekhasan batik pada wilayah-wilayah tertentu akibat dipengaruhi lingkungan sekitar. Begitu pula dengan batik Banyumas. Wilayah Banyumas sendiri yang meliputi empat kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara, terdapat penyebaran desa-desa penghasil seni batik.

Di Kabupaten Banjarnegara, sentra batik sudah lama dikenal yaitu di Desa Gumelem, yang masuk wilayah Kecamatan Susukan. Kekhasan batik dan eksotisme Desa Gumelem yang terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon telah memancing pembuat film Purbalingga untuk mendokumenterkannya.

Di bawah bendera Goldwater dengan arahan sutradara Bowo Leksono yang kemudian mengajak serta para pegiat film dari Banjarnegara, batik Gumelem diangkat ke dalam film dokumenter. Sudah sejak awal tahun 2010, riset terkait batik Gumelem dilakukan hingga memasuki bulan April 2010 tahap pengambilan gambarnya.

Pembatik Cilik
Sebagai desa batik, Gumelem sendiri sangat menarik untuk diangkat dalam sebuah media film. Terlebih, terkait pelestarian peninggalan budaya, Gumelem mampu melahirkan pembatik-pembatik cilik yang bisa dipastikan tidak terdapat di desa-desa batik di wilayah Banyumas.

Realita ini menjadi daya tarik yang kemudian diabadikan dalam sebuah film dokumenter. Ada sedikitnya 15 anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sebagian besar membatik karena pengaruh keturunan. Sisanya, lingkungan telah menyeret mereka untuk sedini mungkin belajar membatik.

Anak-anak desa yang polos itu harus berjuang dengan jalan membenturkan arus modernitas dengan tradisi yang terus hidup di lingkungannya. Generasi di atas mereka, sama sekali tidak mewarisinya sebagai wujud melestarikan budaya bangsa. Karena itu, terjadi semacam jurang generasi yang cukup jauh.

Anak-anak muda Gumelem memilih hengkang dari desanya untuk mengadu nasib di kota besar dengan harapan mempunyai penghidupan yang lebih baik. Kemudian strategi apa agar anak-anak Gumelem kelak tidak turut meninggalkan kampung kelahiran yang berarti meninggalkan tradisi nenek moyang?

Masuk Mulok
Edukasi bisa dianggap sebagai cara sekaligus kunci strategis bagaimana anak-anak atau generasi penerus Gumelem mampu mempertahankan kebanggaan sebagai penerus budaya membatik. Ada beberapa Sekolah Dasar baik di Desa Gumelem Wetan maupun Gumelem Kulon yang memasukkan kurikulum muatan lokal berupa batik.

Tidak cukup sampai di situ, dua SMP yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Susukan pun memasukkan mulok membatik dalam kurikulumnya. Meskipun belum memberikan pengaruh yang besar, paling tidak Gumelem dengan caranya sendiri telah melakukan pembibitan sebagai kekuatan pelestari peninggalan budaya bangsa.

Produksi film dokumenter terkait para pembatik cilik Gumelem ini telah masuk tahap postproduksi. Rencananya, film ini akan diluncurkan perdana tepat pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 bersama film-film dokumenter yang diproduksi pelajar SMA-SMA di Banjarnegara yang juga mengambil subyek terkait eksotisme Gumelem.

Minggu, 21 Februari 2010

Bersemuka dengan Para Pembatik Cilik


Catatan 7: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Rasa bahagia bercampur haru saat bersemuka bersama belasan pembatik cilik dari Gumelem, Minggu, 21 Februari 2010, di Balai Desa Gumelem Wetan. Tidak sekedar pada pancaran mata mereka penentu nasib perbatikan di Gumelem, namun mereka adalah penerus warisan budaya bangsa.

Bukan sesuatu yang muluk memang kita menggantungkan harapan pada mereka, namun tidak adil pula bila kelak dikemudian hari mereka menjadi dan menjalin profesi apapun yang mereka mau dan suka.

Paling tidak, karena keterpengaruhan keluarga dan lingkungan, mereka bisa disebut sebagai pembatik muda. Diusia belasan tahun sudah bisa memainkan canting. Soal akan jadi apa mereka kelak, waktu dan jamanlah yang menjawabnya.

Usia SD dan SMP
Tengoklah Maya, yang masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar 4 Gumelem Wetan. “Cita-cita saya jadi artis penyanyi,” katanya dengan senyum simpul. Dan Maya pun mendendangkan sebuah syair lagu ndangdut dari penyanyi idolanya Ridlo Rhoma. Bukan tidak mungkin cita-cita Maya terkabul dan saat menyanyi pakaian batik produk gumelem kerap menempel di badannya.

Sementara Tia, siswi SD Negeri 8 Gumelem Kulon ini dengan malu-malu berucap kelak ingin menjadi guru SD. Cita-cita yang mulia tentunya. Lain lagi Sugi, kelas 6 SD Negeri 8 Gumelem kulon, ia secara terang-terangan ingin menjadi seorang pengusaha batik sukses, mencontoh salah satu pembatik sukses di desanya, Suryanto.

Belasan pembatik cilik dari Gumelem itu akan menjadi subyek film dokumenter, disamping subyek-subyek pendukung lainnya, masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka adalah bagian dari narasi nasib batik Gumelem, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

Gumelem, 21 Februari 2010

Minggu, 07 Februari 2010

Pelajar SMA/SMK Banjarnegara Belajar Membuat Film


Catatan 6: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Diluar dugaan, sembilan perwakilan pelajar SMA/SMK se-Kabupaten Banjarnegara tumplek di Balai Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Minggu (7/2). Sekitar 30 pelajar tersebut bermaksud belajar bersama membuat film dokumenter terkait Desa Gumelem.

Kesembilan sekolah tersebut adalah SMA Negeri 1 Banjarnegara, SMK Negeri Bawang, SMA Negeri 1 Wanadadi, SMA Negeri 1 Klampok, SMA Negeri 1 Sigaluh, SMK Tamansiswa, SMK Danurajah, MAN 2 Banjarnegara, SMA Negeri 1 Bawang.

Para pelajar tersebut mendapat semacam pembekalan dan persoalan-persoalan teknis terkait rencana produksi film dokumenter tersebut dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan kawan-kawan pembuat film dari Banjarnegara.

Terkumpul sekitar 10 tema atau subyek dokumenter yang hendak diwujudkan menjadi karya film. Ke-10 subyek tersebut antara lain Sajadah Batu, Pandai Besi, Keluarga Kerajaan, Kerajinan Kerang, Pemandian Air Panas, Masjid Kuno, Kesenian Tradisi, Rumah Kuno, Pakembara, dan Makam Kuno.

Pra Produksi/Riset
Hari itu juga, para pelajar diterjunkan ke lapangan sebagai penanda dimulainya riset/penelitian yang nantinya menjadi bahan dasar dari proses produksi film dokumenter. Perdana dipertemukan dengan narasumber masing-masing tema sekaligus ‘kulonuwun’. Selanjutnya, mereka akan menjalankan riset sendiri dengan tetap mendapat fasilitasi dan pendampingan.

Kesepakatan waktu sekitar satu bulan dimanfaatkan untuk riset sampai para pelajar mampu mengisi proposal produksi dan membuat skrip dokumenter. Selanjutnya mereka akan memproduksi secara independen.

Kompilasi Film Dokumenter
Rencananya, bila kesepuluh tema tersebut berhasil diproduksi, akan dibuatkan kompilasinya dan puncak acara pemutaran bersama pada 2 Mei 2010 bertepatan Hari Pendidikan Nasional. Bertempat di kompleks pendapa Bupati Banjarnegara.