Jumat, 30 April 2010

Gumelem di Mataku (premiere)


Generasi penerus dengan beragam latar belakang, semestinya cerdik bagaimana “nguri-uri” peninggalan nenek moyang. Tentu, bila bukan generasi muda, siapa lagi? Namun justru di tangan generasi muda inilah sejatinya nasib peninggalan tradisi berada.

Anak-anak muda Banjarnegara yang dimotori pegiat perfilmannya berusaha dengan caranya dalam melestarikan budaya. Dengan mata kamera mereka menangkap realita peninggalan budaya yang tersisa.

Sudah sejak awal tahun hingga memasuki bulan April 2010, beberapa pegiat perfilman di Banjarnegara sepakat melakukan riset di Gumelem, wilayah yang masuk Kecamatan Susukan. Gumelem sendiri adalah daerah yang terbagi menjadi dua desa; yaitu Desa Gumelem Kulon dan Desa Gumelem Wetan.

Gumelem adalah daerah yang menyimpan tumpukan “harta” yang belum banyak tersentuh. Harta peninggalan nenek moyang yang masih sangat mungkin untuk digali, diangkat, dan disejajarkan di zaman modern ini.

Enam Film Dokumenter
Eksotisme Gumelem yang lebih dikenal sebagai desa batik sangat menarik untuk diangkat dalam sebuah media film. Terlebih, terkait pelestarian peninggalan budaya. Realita ini menjadi daya tarik yang kemudian diabadikan dalam film dokumenter.

Berawal dari keinginan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang kemudian mengajak serta pegiat film Banjarnegara untuk memfilmkan batik Gumelem. Hasil dari riset ada sekitar 11 tema terkait eksotisme Gumelem dengan peninggalan-peninggalan budaya dan tradisinya.

Dalam perjalannya dibuatlah program bersama pegiat film Banjarnegara yang tergabung dalam Forum Komunitas Film Banjarnegara kerja bersama CLC dengan mengajak pembuat film muda yang masih duduk di bangku SMA se-Banjarnegara. Program itu berupa produksi film bersama dari tema-tema hasil riset.

Dari 11 tema yang ada, digarap oleh 12 kelompok produksi. Hingga akhir program, terkumpul enam karya film dokumenter. Empat karya dari pelajar SMA dan dua karya pegiat film Banjarnegara lainnya. Karya-karya siap tonton itu akan diputar perdana pada Sabtu, 1 Mei 2010 di Pendapa Bupati Banjarnegara, pukul 19.00 WIB.

Film-film tersebut adalah “Mengintip Jejak Mataram” sutradara Dani Dwijaka Sudrajat produksi Jurnalistik Film Fotografi-Ekskul (JFF) SMA N 1 Sigaluh, “Pendekar Besi” sutradara Anggi Setya Prayoga produksi Pamover Production (SMK N 1 Bawang), “Kisah Keluarga Kerajaan” sutradara M. Khirul Anwar produksi Panchavieker Production (SMK N 1 Bawang), “Lengger Gumelem” sutradara Sugino produksi Komunitas Film Tamsis (SMK Tamansiswa), “Pudarnya Malam di Gumelem” sutradara Rulia Iva Dhalina produksi Baracinema Production, dan “Goresan Anak-Anak Gumelem” sutradara Bowo Leksono produksi GoldWater.

Kamis, 08 April 2010

Batik Gumelem Difilmkan



Catatan 8: Produksi Film Dokumenter Batik Gumelem

Salah satu faktor punahnya sebuah peninggalan tradisi adalah ketika tidak ada generasi yang menjadi pelestari peninggalan tradisi itu sendiri. Modernitas telah menggilas dengan tanpa ampun segala yang berbau tradisi. Butuh manusia-manusia bijak yang mampu menjembatani modernitas di satu sisi dan tradisi di sisi lain.

Batik, sebagai salah satu peninggalan budaya yang penting bagi bangsa Indonesia, telah mendapat pengakuan dunia melalui Unesco bahwa batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada 2 Oktober 2009. Apakah pengakuan dunia ini akan menjadi pemantik bagi kita untuk terus melestarikannya? Atau sebaliknya?

Seni membatik ada di hampir seluruh penjuru Nusantara. Masing-masing daerah penghasil batik tersebut memiliki kekhasannya. Tak terkecuali Banyumas, wilayah yang berada di bagian barat daya Provinsi Jawa Tengah. Konon, peninggalan batik ini merupakan peninggalan keraton. Batik adalah pakaian khas keluarga keraton.

Mengapa kemudian tradisi membatik muncul di wilayah Banyumas? Kenyataan ini karena ada keturunan atau keluarga keraton/kerajaan Mataram yang hijrah atau mengungsi akibat pertikaian hingga wilayah pesisir. Mereka kemudian menetap dan melanjutkan tradisi membatik.

Kekhasan batik pada wilayah-wilayah tertentu akibat dipengaruhi lingkungan sekitar. Begitu pula dengan batik Banyumas. Wilayah Banyumas sendiri yang meliputi empat kabupaten; Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara, terdapat penyebaran desa-desa penghasil seni batik.

Di Kabupaten Banjarnegara, sentra batik sudah lama dikenal yaitu di Desa Gumelem, yang masuk wilayah Kecamatan Susukan. Kekhasan batik dan eksotisme Desa Gumelem yang terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon telah memancing pembuat film Purbalingga untuk mendokumenterkannya.

Di bawah bendera Goldwater dengan arahan sutradara Bowo Leksono yang kemudian mengajak serta para pegiat film dari Banjarnegara, batik Gumelem diangkat ke dalam film dokumenter. Sudah sejak awal tahun 2010, riset terkait batik Gumelem dilakukan hingga memasuki bulan April 2010 tahap pengambilan gambarnya.

Pembatik Cilik
Sebagai desa batik, Gumelem sendiri sangat menarik untuk diangkat dalam sebuah media film. Terlebih, terkait pelestarian peninggalan budaya, Gumelem mampu melahirkan pembatik-pembatik cilik yang bisa dipastikan tidak terdapat di desa-desa batik di wilayah Banyumas.

Realita ini menjadi daya tarik yang kemudian diabadikan dalam sebuah film dokumenter. Ada sedikitnya 15 anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sebagian besar membatik karena pengaruh keturunan. Sisanya, lingkungan telah menyeret mereka untuk sedini mungkin belajar membatik.

Anak-anak desa yang polos itu harus berjuang dengan jalan membenturkan arus modernitas dengan tradisi yang terus hidup di lingkungannya. Generasi di atas mereka, sama sekali tidak mewarisinya sebagai wujud melestarikan budaya bangsa. Karena itu, terjadi semacam jurang generasi yang cukup jauh.

Anak-anak muda Gumelem memilih hengkang dari desanya untuk mengadu nasib di kota besar dengan harapan mempunyai penghidupan yang lebih baik. Kemudian strategi apa agar anak-anak Gumelem kelak tidak turut meninggalkan kampung kelahiran yang berarti meninggalkan tradisi nenek moyang?

Masuk Mulok
Edukasi bisa dianggap sebagai cara sekaligus kunci strategis bagaimana anak-anak atau generasi penerus Gumelem mampu mempertahankan kebanggaan sebagai penerus budaya membatik. Ada beberapa Sekolah Dasar baik di Desa Gumelem Wetan maupun Gumelem Kulon yang memasukkan kurikulum muatan lokal berupa batik.

Tidak cukup sampai di situ, dua SMP yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2 Susukan pun memasukkan mulok membatik dalam kurikulumnya. Meskipun belum memberikan pengaruh yang besar, paling tidak Gumelem dengan caranya sendiri telah melakukan pembibitan sebagai kekuatan pelestari peninggalan budaya bangsa.

Produksi film dokumenter terkait para pembatik cilik Gumelem ini telah masuk tahap postproduksi. Rencananya, film ini akan diluncurkan perdana tepat pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 bersama film-film dokumenter yang diproduksi pelajar SMA-SMA di Banjarnegara yang juga mengambil subyek terkait eksotisme Gumelem.