Minggu, 13 Desember 2009

Bertemu Kenalan Lama


Catatan 2: PraProduksi Film Dokumenter Batik Gumelem, Banjarnegara

Beberapa waktu lalu, seorang kenalan lama bersua di dunia maya. Dia menyapa karena ada sedikit urusan terkait riset yang sedang dilakukannya. Kenalan lama saya itu bertanya apakah saya masih berkontak dengan narasumber film dokumenter batik Banyumasan yang pernah saya buat.

Rupanya dia sedikit kecewa, karena narasumber yang dimaksud sudah meninggal beberapa waktu silam. Sayang sekali memang, karena narasumber itu, yang juga seorang profesor dari Universitas Soedirman Purwokerto, boleh dibilang satu-satunya narasumber penting yang mampu menjelaskan dengan gamblang soal batik Banyumasan. Dan beruntung saya telah mendokumenterkannya di tahun 2006.

Esti nama kenalan lama saya itu. Dia sekarang bekerja di Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sudah menjadi pegawai negeri rupanya. Saat saya berkenalan, di tahun 2006, dia masih bekerja sebagai seorang wartawati di Harian Radar Banyumas. Saat itu, dia meliput ketika saya syuting film pendek fiksi berjudul “Senyum Lasminah”.

Sekali Merengkuh Dayung
Saat ini, Esti sedang melakukan riset soal batik Gumelem, Banjarnegara, salah satu sentra batik yang memperkaya khasanah batik Banyumasan. Riset yang Esti lakukan untuk kebutuhan artikel bagi lembaga dimana ia sekarang bekerja. Seperti halnya para periset lain, dengan subyek yang saya anggap menarik, saya menanggapinya dengan sangat serius.

Kemudian, saya tawarkan riset itu tidak sekedar berhenti pada hasil karya tulis semata. Bila mau, mengapa tidak dibuat film dokumenternya? Sudah saya duga, bila Esti akan menjawab tak sanggup mengusahakan biaya untuk memproduksi film dokumenter. Esti juga bilang meskipun duduk di jajaran pemerintahan, namun belum tentu sanggup mengusahakannya.

Saya jadi tersenyum, film dokumenter ini dibuat bukan untuk mencari dana. Tujuannya jelas untuk pendidikan, untuk generasi penerus kelak, untuk masyarakat luas, untuk kepentingan bersama, sebagai media promosi dan kalau boleh disebut sebagai media penyelamat budaya tradisi, Banyumas pada khususnya.

Soal nanti pemerintah daerah atau pihak manapun tertarik untuk membantu, itu soal nanti. Saat ini yang penting adalah kita berkarya dulu. Tak bisa berkarya itu menunggu siapa dulu yang akan membantu. Dan Esti pun setuju.

Siapa tahu, pemerintah daerah akan membantu dikala proses produksi film dokumenter ini berjalan atau sesudah film ini jadi. Karena memang kesadaran diantara kita kerap kali terlambat atau malah kita tak punya kesadaran sama sekali. Saya hanya berpikir bahwa kreatifitas anak muda tak boleh mandek, hanya karena tak ada biaya. Meskipun bukan hal yang salah bahwa biaya adalah salah satu pilar pendukung bagi proses kreatifitas itu.

Anggap saja , lagi-lagi, ini ujian bagi kita, bagi anak muda. Dan tentu ujian bagi pemerintah daerah dan pihak lain juga. Semoga kita jangan sekedar berpangku tangan dan kaki, hanya karena menunggu siapa yang akan melakukan lebih dulu.

Gandasuli, 14 Desember 2009

Tidak ada komentar: